Sore itu seperti biasa kami berdua berjalan beriringan dengan seorang lelaki yang sudah cukup berumur. Hujan gerimis yang mengikuti langkah kami keluar dari salah satu anak sungai Lubai yaitu Sungai Talang Buluh.
Banyaknya ikan yang terkena jaring (pukat) menyebabkan kami waktu itu tidak bisa mengambil ikan satu per satu tapi untuk memudahkannya dengan cara menggulung jaring (pukat) itu satu per satu dan memasukkannya ke dalam wadah yang terbuat dari anyaman bambu yang di desa kami disebut dengan “behunang”. Waktu pun hampir menunjukkan waktu maghrib. Ingat betul waktu itu adalah di akhir bulan Maret Tahun 1985 atau hampir 31 tahun yang lalu.
Lelaki yang berjalan bersama saya itu adalah lelaki gagah yang cukup disegani didesa kami. Badannya kecil namun kekar. Dialah yang dikenal dengan Wak Yaseh. Beliau merupakan suami dari Kakak Perempuan orang tua saya. Disepanjang perjalanan yang gerimis itu kami menyeberangi sebuah jembatan kecil membentang diatas sungai yang terbuat dari sebatang kayu dengan pegangan yang terbuat dari bambu. Jembatan itu hampir ditenggelamkan oleh sungai yang sedang meluap.
Sepanjang perjalanan pulang itu kami harus menelusuri beberapa kebun penduduk. Semua kebun yang kami lewati itu seluruhnya digenangi oleh air sungai. Rerata tinggi air hampir sepinggang orang dewasa. Dan untuk saya sendiri waktu, air rata-rata mencapai leher bahkan dibeberapa bagian harus berenang.
Waktu sudah menunjukan waktu maghrib. Suara adzan dari masjid mulai terdengar dan kami berdua masih berjibaku untuk segera keluar dari hutan itu. Gelap mulai menyongsong. Awan yang berkabut yang diiringi oleh hujan rintik-rintik. Gemericik air mengikuti langkah kami secara tergesa-gesa. Dan, guna memotong jalan agar tidak terlalu jauh menuju rumah sampailah kami ke sebuah kebun yang sebetulnya juga tidak jauh lagi dari perkampungan (desa) kami.
Baca Uga : Misteri Wanita Cantik dan Menggoda Yang Jadi Penunggu Kedung Bengkok Kali Serayu
Uwak yang berjalan didepan saya tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berujar...”sttt...diam..berhenti dulu...!!!, saya yang berada dibelakangnya dengan patuh dan mematung mengikuti perintah itu. Perintahnya lagi...”tunggu disini...jangan kemana-mana sampai Uwak kembali...!”.
Tiba-tiba Beliau menanggalkan seluruh pakaiannya dan diletakkan disamping “behunang” yang penuh berisi ikan. Beliau lalu mencabut parang dipinggangnya dan berlarian seperti mengejar “sesuatu”.
Saya yang ditinggal sendirian dan tidak paham dengan maksudnya hanya duduk terdiam disebuah gundukan tanah yang tidak terlalu tinggi. Saya pun sesuai dengan yang diperintahkan Uwak tadi mengambil posisi duduk. Sepertinya cuma tempat itu yang tidak digenangi air. Luasnya juga tidak seberapa. Paling cukup untuk tempat dua orang berbaring lurus sejajar.
Suasana gelap dan sepi begitu terasa. Bulu kuduk ku pun entah mengapa tiba-tiba berdiri dan terasa merinding. Gemericik kaki uwak yang tadi terdengar keras pelan-pelan mulai tidak terdengar. Yang ada hanyalah suara jangkrik dan kodok yang saling bersahutan. Tubuhku pun terasa mulai dingin. Jantung mulai berdebar kencang menunggu Uwak yang tidak kunjung kembali. Dan tiba-tiba..., sebuah tangan perkasa menyentuh pundak ku. Kagetnya bukan kepalang... “ayo kita pulang” teriaknya.
Disepanjang perjalanan tidak berani aku menegur Beliau karena walaupun suasananya gelap tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Hampir menjelang isya’ kami sampai di rumah Beliau. Kami pun langsung membersihkan diri dan aku pun pulang ke rumah yang kebetulan antara rumah Beliau dengan Rumah Kami tidak berjauhan.
Hampir semalaman aku tidak bisa tidur. Balik badan sana balik sini tetap saja mata tidak bisa terpejam mengingat kejadian yang barusan terjadi.
Aku tidak berani bercerita dengan siapa pun dirumah. Banyak pertanyaan bergelayut di hati ini...”mengapa Uwak tiba-tiba berlari dan mencabut pisau..? mengapa berlari harus telanjang..? mengapa tiba-tiba beliau nongol dan aku tidak mendengarnya..? dan yang penting juga mengapa bulu kudukku berdiri dan merinding..? dan sialnya sampai dirumah tetap saja masih merinding..?” ...huh mengusir rasa itu begitu sulit... badan yang begitu terasa lelah dan capek karena hampir seharian mencari ikan disungai membuat badan ini terasa lemas dan akhirnya jatuh tertidur juga.
Pagi-pagi benar aku langsung berlari kecil menuju rumah Uwak Yaseh. Nampak Beliau sedang menyiapkan gulungan tali nilon dan potongan bambu kecil untuk membuat jaring. Akupun menyapa Beliau dan Beliau juga sepertinya menangkap rasa takut dan bergalyutannya berbagai pertanyaan yang menyerang Aku semalam.
Disuruhnya Aku duduk disampingnya sambil Beliau meyiapkan anyaman jaring dan menyeruput kopi yang ada disebelahnya. Sesekali Beliau juga menghisap rokok lintingan tembakau yang menjadi ciri khasnya. Beliau pun memulai bercerita.
“Kebun tempat kami beristirahat itu semalam adalah Kebun miliknya Mulkan (untuk memudahkan penyebutan orang desa menyebutnya dengan kebun “Lekan”). Dikebun Lekan itulah pada Zaman Belanda dahulu ada orang Belanda yang mati karena berkelahi setelah main sepak bola dan dibunuh oleh penduduk desa.
Jenazah Belanda itu kemudian dikuburkan di Kebun itu dan pas ditempat mu duduk itu lah jenazahnya ditanamkan”. Walah... akupun geleng-geleng kepala... pantesan fikir ku kenapa bulu kuduk ku berdiri dan merinding, kalo tau pastilah...???”
Sambil mengisap rokoknya dan tarikan nafas yang panjang, Beliau melanjutkan ceritanya bahwa “Beliau melihat ada kepala orang yang hanya setengah badan. Matanya nampak besar, berjenggot dan menari-nari sambil mengeluarkan tawa yang seram. Benda itu seperti bayangan dan berusaha untuk menghadang langkah kami diperjalanan.
Dan untuk menghilangkan bayangan itu lah maka Beliau harus melepas seluruh pakaiannya dan mengejar bayangan itu dengan pisau. Menurut Beliau itu perlu dilakukan agar bayangan menakutkan itu tidak terlihat lagi...” oh... aku jadi tertegun..
Beliau pun bilang sebetulnya itu sudah lama menjadi bisik-bisik cerita yang ada desa ini. Mereka disini menyebutnya degan “HANTU BELANDA”. Sudah banyak cerita simpang siur terkait dengan misteri Hantu Belanda di Kebun Lekan itu. Mulai dari ada yang melihat bayangan putih tinggi besar.
Ada juga yang melihat bayangan hitam berdiri diawang-awang. Ada cerita juga banyak yang mendengar suara tangisan bayi bila melintasi Kebun Lekan itu. Ada juga yang bercerita mendengar suara cekikan seperti orang yang sedang mengalami depresi dan rasa takut yang mendalam. Bahkan ada juga yang bercerita melihat bayangan yang berambut panjang, berlarian dan bergentayangan.
Semuanya adalah cerita rakyat yang masih melegenda sampai dengan saat ini. Satu yang pasti di Kebun Lekan itu memang terdapat gundukan tanah yang ternyata setelah diamati memang menyerupai sebuah kuburan dan panjangnya seukuran kurang lebih 2,5 meter.
Gundukan tanah itu juga memiliki nisan dikedua ujungnya. Dan yang hebatnya, sedalam apa pun banjir yang ada, maka gundukan tanah itu tidak pernah kebanjiran atau tenggelam.
Bagaimana kebenaran ceritanya...? entahlah... dan mengenai Hantu Belanda di Kebun Lekan itu biarlah menjadi misteri dan menjadi cerita rakyat Desa Gunung Raja Lubai selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar