Risalah Solo, Malapetaka Maret 1966

Sobat Misteri Tua, pasti sudah banyak doang yang mendengar cerita-cerita misteri. Baik itu horor yang menakutkan atau mungkin horor comedi yang membuat kita merinding namun tetap ada lucunya. Yang pasti semuanya sudah pasti pernah mendengar yang namanya cerita misteri. Cerita ini banyak beredar dikalangan masyarakat kita. Baik dalam bentuk peruah atau larangan serta sesuatu hal yang berhubungan dengan mistis dan keramat. Dan Indonesia sendiri termasuk salah satu dengan segudang cerita misteri yang melatar belakangi pembentukannya serta kultur sejarah yang ada.

Sehingga tidak herian jika bicara tentang misteri tidak membuat kita aneh dan asing. Apalagi cerita yang satu ini Risalah Solo, Malapetaka Maret 1966 mungkin kalian pernah mendengarnya walaupun cerinta sedikit beda. Sebab ditiap daerah akan sedikit beda sesuai dengan kultur dan adatnya. Namun semuanya tetap mengacu pada hal yang sama yaitu mistis. Mistis atau horor selah satu dua hal yang tidak bisa kita lepaskan. Begitu juga dengan Risalah Solo, Malapetaka Maret 1966 mungkin mau tidak mau kita tidak bisa menghindarinya. Atau bahkan disekitar lingkungan kita ada.

Sobat misteri pasti sudah tidak sabar ingin mengungkatp dan mengetahui kisah ceritanya lebih lanjut bukan.nah tanpa panjang lebar dan basa-basi mari kita simak ceritanya berikut ini. Namun semua kejadian dan kisah ini mungkin sedikit fiktif atau tidak sama dengan kejadian yang sebenarnya. Karena ini hanya ilustrasi saja biar kita mudah untuk memahaminya. Dan kisahnya ada dibawah ini selamat membaca

Tiga perempat kota tenggelam dalam dekapan air luapan Bengawan Solo. Mematikan seluruh aktivitas di kota ini. Tragedi 65 masih berlanjut. Operasi penumpasan pada tahun 1966 juga terjadi di kota ini. Namun peristiwa yang “memerahkan” tanah kota Solo ini diredakan oleh limpahan air Sang Bengawan. Banjir besar dalam ingatan kota Solo merupakan bencana yang tak akan terlupakan begitu saja. Bagi generasi tua kota Solo ini bukan sekedar banjir biasa. Tetapi juga sebagai tindakan dari Yang Maha Kuasa untuk “ngresiki Solo” yang tengah kotor bersimbah darah.

Hujan yang tak kunjung henti di suatu hari pertengahan bulan Maret ini membawaku pada sebuah obrolan dengan seorang kawan lama. Kami sedang duduk di teras depan. Memandangi rintik hujan yang masih begitu setia mengguyur langit malam kota Solo. Obrolan kami bermula ketika kawanku itu bercerita tentang banjir besar yang pernah melanda kota Solo tahun 1966. Aku sendiri juga sudah sering mendengar narasi tentang bencana yang tak akan terlupakan dalam ingatan kota yang menyandang gelar The Spirit of Java.


Laksana penggalan lirik dalam lagu Bengawan Solo yang meluap sampai jauh bila musim penghujan tiba, pada tahun 1966 airnya bukan hanya meluap sampai jauh hingga lautan namun juga meluap jauh hingga merendam hampir keseluruhan wilayah kota Solo. Hujan yang terjadi pada 15 Maret 1966 bukanlah hujan biasa. Hujan yang lebat nan tak kunjung reda serta diselingi hujan es melanda Solo. Hari yang telah bergantipun belum juga meredakan guyuran air dari langit yang menggantung di atas kota Solo. Pada malam hari, tertanggal 16 Maret 1966, air Bengawan Solo meluap memasuki wilayah kota. Rupanya beberapa tanggul yang berada di sekitar Bengawan Solo jebol.
Dalam Geger Solo Banjir Bandang, Kho Ping Hoo menyebutkan ada empat tanggul yang jebol dan yang paling parah, jebolnya mencapai 191 m.
Malapetaka banjir besar Solo 1966 ini sudah barang tentu sulit dibayangkan bagi saya yang lahir selepas hampir tiga dekade peristiwa ini terjadi. Dan mungkin juga bagi para generasi millennial sekarang. Tetapi ketika membaca novel Geger Solo Banjir Bandang aku terbuai imajinasi betapa mengerikannya banjir ini melanda Solo. Semua itu terjadi seperti dalam mimpi. Penulis mengajak para pembaca yang pernah mengunjungi kota Solo nan indah untuk membayangkan sebentar. Bayangkan saja. Pasar Gede di pusat kota Solo itu telah menjadi telaga sedalam dua meter! Bayangkan saja, alun-alun keraton telah menjadi lautan dengan airnya berombak-ombak. Pasar Triwindu berikut alun-alun Mangkunegaran telah menjadi muara. Jalan-jalan besar seperti Pasar Pon, Coyudan, Pasar Kliwon, Warung Pelem, Ketandan, dan seluruh daerah pertokoan semua telah berubah menjadi sungai-sungai yang deras airnya! Sukar sekali dipercaya, bukan?


Malapetaka banjir besar Solo 1966 yang melumpuhkan hampir semua wilayah kota, praktis, juga menjadi “malapetaka” dengan operasi penumpasan yang tengah galak terjadi. Operasi penumpaan Tragedi 65 ini juga ikut terhenti. Operasipun berganti fokus dari penumpasan menjadi penyelamatan Solo pascabanjir. Bala bantuan tidak hanya datang dari itu saja tetapi juga para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Bencana selalu saja bisa menggugah sisi kemanusian manusia yang terkadang hilang kendali karena situasi ataupun sebuah perintah eksekusi. Seperti yang dituliskan Kho Ping Hoo dalam Geger Solo Banjir Bandang bahwa setiap malapetaka yang datang karena bencana alam selalu memunculkan pahlawan-pahlawan yang heroik. Seperti para pemuda yang entah itu siapa dan dari golongan mana, segera turun saling membantu dalam kesusahan, mengusik rasa kemanusiaan untuk tetap menonjol.
Di dalam penderitaan manusia selalu mendekati Tuhan, manusia selalu bersatu, permusuhan apapun juga lenyap terganti oleh rasa kasih-mengasihi, tolong-menolong, dan di dalam menghadapi malapetaka inilah perikemanusiaan menonjol sekali, - Geger Solo Banjir Bandang.

Tiada yang lebih “nrimo” daripada orang Solo. Ungkapan ini agaknya sangat berlaku ketika peristiwa banjir besar Solo 1966 terjadi. Orang-orang lebih banyak tersenyum ketimbang berkeluh-kesah. Dan selang beberapa hari Solo hidup kembali lagi setelah hampir “mati”. Sudah barang tentu wajah Solo belum seindah sediakala. Kotor, jalanan rusak, hingga berbau tak enak.

Usaha untuk memulihkan kota terus berlanjut begitu pula usaha untuk memulihkan hati warga kota Solo yang tengah susah. Selepas beberapa waktu, usai banjir reda, Panitia Bandjir Solo dan juga artis-artis ibukota mengadakan nonton film bersama guna menghibur warga kota. Film yang diputar waktu itu adalah film India berjudul Gehra Daag.

Banjir Solo 1966 mengubah segalanya. Simbah darah yang memerahkan Solo tak lagi berlanjut selepas malapetaka ini. Inilah yang bagi generasi tua kota Solo menjadi sebuah mitos bahwa banjir Solo 1966 itu untuk “ngresiki Solo.”


Hujan masih saja enggan pergi. Aku dan kawanku masih asyik mengobrol. Berkutat soal Solo dan banjir yang memang sudah sering menghantui sejak kota ini didirikan sebagai penerus dinasti Mataram Islam. Beberapa titik kota masih menjadi saksi bisu tentang banjir besar Solo 1966. Salah satunya bagian tembok benteng Baluwarti keraton Kasunanan yang sengaja dilubangi untuk menyurutkan air di dalam kawasan keraton. Selain itu Kota Lama Solo juga menjadi saksi akan kedahsyatan banjir besar Solo 1966. Salah satu rumah lama di Lodjie Wetan masih menyisakan bekas tingginya banjir 1966.
Bencana selalu menghadirkan dua sisi. Pertama sudah jelas! Kesedihan dan juga kehilangan. Kedua adalah sisi kemanusian yang akan selalu menonjol ketika bencana melanda.
Dan seperti yang tertulis dalam novel Martin Aleida berjudul Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi, aku sepakat dengan mitos dari generasi tua kota Solo bahwa banjir Solo pada bulan Maret 1966 menjadi pertanda bila pembantaian manusia oleh manusia yang disesatkan oleh dendam yang tiada beralasan akan segera berakhir.

Risalah Solo, Malapetaka Maret 1966


Catatan tambahan:
* Foto diambil dari Matalensaku.


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Risalah Solo, Malapetaka Maret 1966

0 komentar:

Posting Komentar